Oleh: Erica Septi Widya Amd. AK, Analis Kesehatan RSIY PDHI.
Saat kita sedang sakit, salah satu cara
untuk menegakkan diagnosa suatu penyakit adalah dengan pemeriksaan
laboratorium. Salah satu pemeriksaan laboratorium yang sering dilakukan untuk screening adalah urine. Urine atau air
seni adalah cairan sisa yang diekskresikan oleh ginjal yang kemudian akan
dikeluarkan dari dalam tubuh. Ekskresi urine diperlukan untuk membuang
molekul-molekul sisa dalam darah yang disaring oleh ginjal dan untuk menjaga
keseimbangan cairan tubuh.
Urine normal biasanya berwarna kuning
namun mempunyai variasi yang disesuaikan dengan konsentrasi urine. Jika urine
berwarna kuning pucat berarti kemungkinan kita minum cukup banyak air. Jika urine
kita berwarna kuning pekat berarti kemungkinan kita kurang minum. Selain warna urine normal, urine pun dapat
berwarna lain seperti oranye, merah, coklat tua, biru/hijau.
Ada banyak penyebab yang dapat membuat
warna urine menjadi tidak seperti biasanya, di antaranya ada penyebab tidak
berbahaya dan berlangsung sementara seperti makan makanan tertentu atau minum
beberapa jenis obat. Sedangkan faktor penyebab lainnya yang menyebabkan
perubahan warna urine mungkin lebih serius. Warna urine yang tidak seperti
biasanya itu dapat menunjukkan adanya kondisi medis atau penyakit tertentu.
Berikut adalah berbagai penyebab warna urine
abnormal. Pertama, warna urine merah. Urine yang berwarna merah dapat disebabkan oleh adanya darah.
Darah dalam urine dapat berasal dari infeksi, penyakit ginjal, batu saluran
kemih, kanker, atau pembesaran prostat pada pria. Olah raga berlebih atau
setelah seseorang dipukuli juga dapat membuat urine berubah warna menjadi merah
akibat pemecahan hemogloblin di dalam otot dikenal dengan istilah mioglobinuria.
Antibiotik rifampicin (obat TBC), pyridium, dan obat pencahar yang mengandung
senna bisa mengubah urine berwarna merah muda sampai merah.
Kedua, warna urine oranye.
Warna urine ini paling sering karena kurang minum atau dehidrasi (kurang
cairan) biasanya juga terlihat berwarna kuning pekat. Masalah pada saluran empedu
atau hati, juga dapat membuat urine berwarna oranye. Selain itu, tidak jarang
juga urine berwarna oranye dikarenakan obat-obatan seperti rifampisin,
pyridium, sulfasalazine (anti-inflamasi), beberapa obat kemoterapi dan vitamin
C.
Ketiga, warna urine coklat
tua. Urine yang berwarna cokelat atau cokelat tua dapat menjadi tanda adanya
masalah pada organ hati, ginjal, infeksi saluran kemih, dan anemia hemolitik. Urine
berwarna cokelat tua bisa juga disebabkan oleh efek samping obat. Sejumlah obat
yang dapat membuat warna urine menjadi cokelat tua adalah obat antimalaria,
antibiotik, dan obat pencahar yang mengandung cascara atau senna.
Keempat,
warna
urine biru/hijau. Warna urine yang satu ini mungkin dapat membuat Anda cukup
kaget. Biasanya warna urine biru atau hijau dapat disebabkan oleh pewarna
makanan, atau efek samping obat asma, antidepresan amitriptilin, obat bius
propofal, dan zat warna metilen biru. Dalam
kasus yang jarang, urine hijau dapat disebabkan oleh infeksi di saluran kemih
yang disebabkan oleh bakteri Pseudomonas karena bakteri ini memproduksi pigmen
berwarna hijau. Penyakit hiperkalsemia (memiliki terlalu banyak kalsium dalam
darah) dapat menyebabkan urine berwarna biru.
Kelima, keruh dan
berbusa. Urine yang keruh dan berbusa biasanya disebabkan oleh batu ginjal,
kelebihan protein atau menandakan adanya infeksi saluran kemih. Namun demikian
hal ini perlu diperiksakan dan dikonsultasikan ke dokter.
Selain warna tersebut, masih banyak
warna yang mungkin terjadi pada urine seseorang. Misalnya warna ungu atau warna
yang lainnya. Meski mungkin aneh, tak perlu takut dengan warna-warna ini. Bisa
jadi itu hanya karena pewarna makanan, obat-obatan, atau obat kemoterapi. Jika
perubahan warna urine disertai dengan gejala sakit di tubuh, maka itu bisa jadi
sinyal bahwa Anda memang sedang sakit. Meski demikian, pemeriksaan urine
merupakan salah satu cara untuk menegakkan diagnosa sebuah penyakit. Jadi bila
warna urine Anda bukan kuning, maka
sebaiknya konsultasi ke dokter untuk mendapatkan penanganan lebih
lanjut. Terbit, Republika, 7 Agustus 2019.