Oleh: Agus Nur C. S.Sos.I, Humas RSIY PDHI

Mas Anjari, Ketua Persatuan Humas Rumah Sakit Indonesia (Perhumasri), pernah nyeletuk seperti ini. “RS Pemerintah rata-rata memiliki praktisi Humas namun tidak memiliki marketing, sehingga Humas sering nyambi jadi marketing. Di RS Swasta kondisinya terbalik. Rata-rata mereka memiliki marketing dan tidak memiliki Humas, sehingga kerja marketing merangkap jadi Humas”.

Ini adalah fenomena menarik. Di RS Humas dan Marketing sering dianggap identik. Padahal kompetensi dan konsentrasi keilmuannya berbeda. Asumsi ini sering menjadi landasan untuk memandang peran keduanya sebelah mata. Keduanya kerap digiring ke meja perdebatan menajemen: mana yang lebih signifikan eksistensinya? Masih mending diperebutkan posisinya, berarti masih diakui keberadaannya. Karena ada juga yang justru menganggap Humas dan Marketing tidak memiliki peran penting di RS sehingga adanya tak perlu ada.

Opini ini wajar karena Humas dan marketing bukan core business-nya RS dibanding tenaga medis, para medis dan penunjang medis lainnya. Meski bukan profesi inti, namun RS merupakan satu-satunya perusahaan yang padat sumber daya manusia. Ragam profesi berkumpul menjadi satu (heterogen), sehingga konsep kerjanya simbiosis mutualisme. Saling terkait aktif, membutuhkan dan ketergantungan satu sama lainnya. Ia menjadi bagian yang turut berperan dalam menggerakkan ‘roda’ sebuah RS. Karena itu memandang dan mengelola RS harus dengan pandangan integral, bukan parsial.

Posisi Humas dan marketing tak kalah penting dengan bagian lainnya di RS. Jika RS hanya menyediakan satu posisi dari Humas atau marketing, sebenarnya hanya masalah jalan yang diambil dari konsekuensi orientasi. Sebagai perusahaan, RS juga memiliki tujuan untuk mencapai profit (profit oriented). Untuk mencapai itu, manajemen RS memilih marketing ketimbang Humas. Marketing diposisikan sebagai ujung tombak setiap produk layanan RS. Hal ini dapat dipahami karena fungsi dan orientasi marketing adalah bagaimana mengenalkan produk dan meningkatkan kuantitas penjualan jasa.

Marketing sebagai ujung tombak RS berhadapan langsung dengan customer dan calon customer potensial. Segenap tenaganya difokuskan untuk melakukan pendekatan kepada customer, mulai dari mengenalkan, menawarkan, sampai pada maintenance terhadap customer. Praktis, fokus perhatian marketing berkutat pada produk layanan RS diketahaui oleh customer dan bagaimana meningkatkan kuantitas kunjungan masyarakat terhadap layanan tersebut. Artinya, marketing turut andil dalam pencapaian revenue RS, diakui atau tidak.

Revenue menjadi orientasi dan poin penting yang ingin digapai marketing. Jalannya terang dan hasilnya benderang terlihat; profit!. Tanpa bantuan marketing, layanan RS sebagus dan semanarik apa pun, sulit dilirik publik. Hanya mengandalkan flywheel dari konsumen saja, hasilnya akan lama. Di sini kebutuhan marketisasi layanan itu pun muncul. Bagaimana mendongkrak kuantitas kunjungan? Nah, tim marketing RS hadir untuk menentukan segmentasi pasar sampai mencarikan konsumen potensial sehingga angka kunjungan terhadap layanan tersebut terdongkrak naik. Hasilnya dapat ditebak, marketing memiliki orientasi dan prestasi langsung terhadap pencapaian ‘materi’.

Lalu Humas di mana? Fungsi dan orientasi humas lebih luas dari marketing. Orientasi Humas adalah bagaimana membangun citra dan reputasi kepada publik sehingga terciptalah kepercayaan (kredibilitas) terhadap RS. Posisi Humas menyokong posisi marketing dan sebaliknya. Kerja Humas menjadi fondasi agar startegi marketing dapat berjalan optimal. Ibarat berkebun, kerja Humas adalah bagaimana menyiapkan tanah yang baik: dibajak, dikendalikan gulmanya dan disiapkan pupuknya. Sedangkan marketing bertugas menaburkan benih-benih ‘layanan RS’ agar mampu tumbuh subur dan pada akhirnya dapat ‘dipanen’ buahnya.

Orientasi Humas adalah berlari jauh dan menjangkau ke masa depan RS. Fokus kerjanya hanya satu: bagaimana membuat publik memiliki sikap trust kepada RS. Kepercayaan publik terbangun dari segenap nama, simbol dan identitas yang ditampilkan oleh kerja Humas dalam segala publikasi dan komunikasi. Inilah yang kemudian dinamakan citra. Humas mengkonsep dan mengkonstruksi citra positif RS ke publik. Saat publik mengakui bahwa apa yang ditampilkan dari citra tersebut benar, maka akan lahirlah reputasi. Dari reputasi kemudian melahirkan kredibilitas atau public trust. Dalam bisnis, kepercayaan adalah aset tertinggi yang ingin dicapai setiap perusahaan. Bukankah jika RS sudah berhasil meraih kepercayaan publik, ia memiliki reputasi yang tinggi dan mendapat ‘hadiah’ customer yang loyal dari publik?

Pada akhirnya, Humas dan marketing memiliki muara yang sama: bagaimana mencapai tujuan perusahaan secara bersama namun dengan metode, fungsi dan posisi yang berbeda. Jalan yang dilalui Humas untuk mencapai tujuan perusahaan itu berbeda dengan marketing. Jalan Humas lebih panjang, lama sehingga butuh effort dan andurance tinggi, dan hasilnya ‘non material’. Meski sifatnya immateri, namun pencapaian Humas mampu merefleksikan tingkat kualitas dan kuantitas yang dicapai sebuah RS. Jika sama-sama disandingkan dalam satu ‘sirkuit pacu’ untuk mencapai profit, Humas dan marketing berada dalam jalur perlombaan yang sama. Marketing jualan produk jasa, Humas jualan citra. Marketing mendapatkan kustomer, Humas mendapatkan reputasi. Hasil penjualan marketing adalah profit (materi), hasil jualan humas adalah kredibilitas (public trust/ Immateri).

Kepercayaan publik adalah prestasi tertinggi dari kerja Humas dan perusahaan. RS yang mampu meraih kredibilitas berarti sudah lulus uji dan diakui kualitas layanan jasanya oleh publik. Saat publik menaruh trust terhadap RS, sejatinya ia sedang mendapatkan limpahan kustomer loyal. Public trust adalah prestasi dari orientasi dan kerja humas yang tak tampak. Raihan ini jarang mendapat apresiasi. Padahal aset terpenting jangka panjang. Apa buktinya? Saat terjadi krisis public relation, pasien menceritakan layanan buruk di media sosial dan viral misalnya, reputasi RS langsung jatuh. Jika tak segera dipadamkan Humas, publik akan segera menghakimi buruk. Apa Akibatnya? Citranya terperosok dan dapat jatuh lebih dalam ke krisis finansial.

Masalah ini sangat krusial. Tapi, adakah bagian lain di RS yang menangani masalah itu sesuai posisi dan kompetensinya selain Humas dan marketing?. Diam-diam saya mendengar bisik hatimu berkata, “tidak ada!”. “Kok tahu?”. Jujur, saya tidak ingin muluk-muluk dalam tulisan ini selain mereposisikan Humas dan Marketing di RS. Keduanya tidak lebih seperti koin: satu sisinya menguatkan sisi yang lain. Saling bersinergi dan memberi nilai agar koin tersebut berharga tinggi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *