Saat ini, kita dihadapkan pada era perkembangan teknologi dan keterbukaan informasi di mana membuat masyarakat semakin kritis terhadap segala hal, termasuk terhadap pelayanan kesehatan di rumah sakit. Sebagai bidang yang bergerak di jasa pelayanan, RS dituntut untuk mampu melakukan pelayanan kesehatan dengan baik kepada masyarakat.

Menurut Ketua Umum Persatuan Humas Rumah Sakit Swasta (Perhumass) DIY, Eka Budy Santoso, S.Sos, M.Pd, CPR, Mediator, bahwa rumah sakit yang bergerak di bidang pelayanan sangat berbeda dengan bidang manufaktur. Kalau pada bidang manufaktur, orang komplain karena membeli barang kemudian diganti dengan barang baru maka masalah selesai. Akan tetapi berbeda dengan jasa pelayanan. “Kalau pelayanan rumah sakit jelek, maka akan diingat oleh tujuh keturunan,” jelasnya dalam rapat pertemuan anggota Perhumass DIY di RSKIA Sadewa, kemarin.

Karenanya, komplain atas pelayanan di rumah sakit merupakan suatu keniscayaan. Sehingga menjadi tugas Humas untuk dapat menyelesaikannya setiap komplain yang masuk. Di sinilah Humas harus memiliki kemampuan untuk menjadi mediasi dalam menyelesaikan setiap komplain dengan pasien atau keluarga pasien. “Sesuai dengan UU No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan pasal 29 bahwa jika tenaga kesehatan diduga melakukan kelalain dalam menjalankan profesinya, kelalain tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi,” jelas Eka.

Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Menurut Eka, konsep dari mediasi adalah adanya win win solution. Dalam memediasi suatu permasalahan, seorang mediator akan selalu mengarahkan dan mengajak masing-masing pihak untuk mencari solusi bersama. “Kunci dari mediasi adalah kedua pihak ingin menyelesaikan sengketa, namun mereka belum menemukan format tepat yang dapat disepakati oleh kedua belah pihak,” katanya.

Eka menyarankan, bila terjadi komplain antara pasien atau keluarga pasien dengan rumah sakit, sebaiknya diselesaikan melalui mediasi dibanding melalui legitasi atau peradilan. Setidaknya ada tujuh keuntungan penyelesaian masalah melalui mediasi. Pertama, menyelesaikan sengketa secara cepat dan relatif murah dibandingkan dengan membawa perselisihan tersebut ke pengadilan atau ke lembaga arbitrase. “Karena bila di pengadilan, kita akan terkuras tenaga, waktu, perhatian dan uang. Sangat capek,” jelasnya.

Kedua, memfokuskan perhatian para pihak pada kepentingan mereka secara nyata dan pada kebutuhan emosi atau psikologis mereka. Sehingga mediasi bukan hanya tertuju pada hak-hak hukumnya. “Karena konsepnya win win solution, sehingga tidak akan ada dendam di antara keduanya,” tandas Eka.

Manfaat lainnya dari penyelesaian masalah melalui mediasi adalah dapat memberikan kesempatan para pihak untuk berpartisipasi secara langsung dan secara informal dalam menyelesaikan perselisihan mereka. Memberikan para pihak kemampuan untuk melakukan kontrol terhadap proses dan hasilnya. Dalam proses mediasi juga masing-masing pihak dapat mengubah hasil, yang dalam litigasi dan arbitrase sulit diprediksi, dengan suatu kepastian melalui konsensus.

Melalui proses mediasi, masing-masing pihak juga dapat memberikan hasil yang tahan uji dan akan mampu menciptakan saling pengertian yang lebih baik di antara para pihak yang bersengketa karena mereka sendiri yang memutuskannya. Selain itu, proses mediasi juga dapat mampu menghilangkan konflik atau permusuhan yang hampir selalu mengiringi setiap putusan yang bersifat memaksa yang dijatuhkan oleh hakim di pengadilan atau arbiter pada lembaga arbitrase. Sumber Republika, Kamis 17 Oktober 2019.