Rifda Latifa, S.Farm, Apt, (Apoteker RS Islam Yogyakarta PDHI)
Pernahkah Anda diberikan resep oleh dokter dan saat obat diserahkan oleh Apoteker di apotek, Apoteker berpesan bahwa obat ini adalah antibiotik yang harus diminum sampai habis? Adakah yang di antara Anda yang setelah meminum obat selama 1-2 hari lalu merasa sudah nyaman dan sehat lalu tidak meminum semua obat, termasuk obat yang diminta untuk dihabiskan? Hal ini masih sering terjadi di masyarakat. Padahal antibiotik seharusnya tetap digunakan sampai habis meskipun sudah tidak muncul gejala atau keluhan.
Antibiotik adalah jenis obat yang digunakan untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Lama terapi dengan antibiotik ini berbeda-beda tergantung jenis bakteri yang menginfeksi dan tingkat keparahan infeksinya. Pada penyakit TBC, antibiotik harus diminum selama beberapa bulan. Cara kerja antibiotik adalah dengan membunuh atau menghambat proses pertumbuhan bakteri yang berbahaya dalam tubuh. Sayangnya antibiotik ini , selain membunuh bakteri jahat dalam tubuh, juga dapat membunuh bakteri baik yang merupakan flora normal dalam tubuh. Sehingga penggunaan antibiotik harus sesuai indikasi.
Berbeda dengan obat anti nyeri yang bekerja mengurangi atau menghilangkan gejala nyeri, antibiotik bekerja menghilangkan penyebab sakitnya tidak hanya gejalanya saja. Setelah minum antibiotik beberapa waktu jumlah bakteri akan berkurang, sehingga gejala sakit juga akan berkurang dan pasien merasa nyaman dan sudah sehat, padahal saat itu bakteri masih ada dan berpotensi berkembang biak lagi. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat , tidak sesuai indikasi dapat memacu terjadinya resistensi. Saat ini, dunia medis lebih selektif dan berhati-hati memberikan antibiotik kepada pasien seiring banyaknya kasus resistensi terhadap antibiotik.
Apakah resistensi antibiotik itu? Resistensi antibiotik adalah timbulnya kekebalan bakteri terhadap obat yang diberikan. Mengapa hal ini dapat terjadi? Penyebabnya antara lain karena pengobatan yang tidak tuntas, dosis terlalu rendah, penggunaan antibiotik yang sembarangan, dan sebagainya. Seperti manusia, bakteri memiliki material genetik seperti DNA dalam tubuhnya yang dapat bermutasi atau berubah. Apabila pengobatan tidak tuntas, atau dihentikan sebelum waktunya, bisa jadi bakteri tersebut belum terbunuh, namun masih dalam keadaan ‘pingsan’ dan dapat bangun serta hidup kembali. Bakteri yang yang berhasil bertahan hidup dapat mengubah DNA mereka agar menjadi lebih kuat dari obat antibiotik yang diberikan sebelumnya, sehingga bila diberikan antibiotik yang sama di waktu yang akan datang maka tidak akan “mempan” karena bakteri sudah bertransformasi menjadi jauh lebih kuat. Ibaratnya bakteri ini sudah melengkapi diri dengan “senjata baru” untuk menghadapi antibiotik yang dulu pernah digunakan oleh pasien.
Selain itu, bila terlalu sering menggunakan antibiotik tanpa petunjuk dokter juga dapat mengakibatkan resistensi. Yang harus selalu diingat, ketika sedang flu biasa, kita belum membutuhkan antibiotik. Hanya diperlukan istirahat yang cukup, banyak minum, banyak makan buah dan sayur. Penggunaan antibiotik secara sembarangan ini lambat laun dapat mengancam kemampuan tubuh dalam melawan penyakit infeksi. Jadi, semakin lama dan semakin sering antibiotik digunakan, maka antibiotik semakin tidak efektif dalam melawan bakteri. Jika jumlah bakteri resisten antibiotik semakin banyak, sehingga antibiotik-antibiotik yang ada sudah tidak bisa mengobati infeksi bakteri yang ada, maka beragam prosedur medis seperti transplantasi organ, operasi besar dan sebagainya menjadi sangat berisiko. Efek lebih jauhnya, pasien harus menanggung perawatan yang lebih lama dan lebih mahal.
Untuk menghindari adanya resistensi antibiotik, yang dapat kita lakukan adalah menghabiskan obat antibiotik tersebut sesuai anjuran dokter/apoteker. Selain itu, penyimpanan antibiotik juga harus tepat agar kualitasnya terjaga. Kekebalan bakteri bisa diakibatkan karena kualitas obat yang menurun akibat penyimpanan yang tidak tepat . Obat antibiotik harus disimpan pada suhu ruangan yang terkontrol, di tempat kering, tidak lembab, tidak terkena sinar matahari secara langsung, dan dihindarkan dari jangkauan anak-anak. Antibiotik sirup hanya boleh digunakan selama 7 hari sejak direkonstitusi.
Sebagai masyarakat Indonesia yang cerdas, marilah kita lebih bijak lagi untuk menggunakan antibiotik dengan menyimpan di tempat penyimpanan yang sesuai, dan tidak menghentikan minum obat antibiotik sebelum habis. Dimuat di Harian Republika, Rabu 19 Juni 2019.