Nama beliau ialah M Zaaf Fadlan Rabbani Al-Garamatan. Berasal dari Irian Indonesia, Beliau lahir dari keluarga Muslim, 17 Mei 1969 di Patipi, Fak-fak, sejak kecil dia sudah belajar Islam. Ayahnya adalah guru SD, juga guru mengaji di kampungnya. Pengetahuan ilmu agamanya kian dalam ketika kuliah dan aktif di berbagai organisasi keagamaan di Makassar dan Jawa. Anak ketiga dari tujuh bersaudara ini akhirnya memilih jalan dakwah. Dia mendirikan Yayasan Al Fatih Kaaffah Nusantara. Melalui lembaga sosial dan pembinaan sumber daya manusia ini, Ustadz Fadlan begitu ia kerap disapa mengenalkan Islam kepada masyarakat Irian sampai ke pelosok.
Lulus sebagai Sarjana Ekonomi, Ustadz Fadlan tidak memilih untuk menjadi pegawai negeri atau pengusaha, tapi Da’i , penyeru agama Islam dan mengangkat harkat martabat orang Fak-fak, Asmat, dan orang Irian lainnya. “Saya memilih menjadi ‘PNS’, Pegawai Nabi Shallaluhu’alaihi wassalam,” jelasnya dalam pengajian karyawan dan terbuka untuk umum di masjid UGD Arrohman Posepodihardjo, Selasa (17/12).
Dalam berdakwah, tempat yang pertama kali dikunjungi adalah lembah Waliem, Wamena. Dakwah pertama yang dilakukan oleh ust. Fadlan bukan masalah keimanan, tetapi kebersihan. Fadlan mengajarkan mandi besar kepada salah satu kepala suku. Ternyata ajaran itu disambut positif oleh sang kepala suku. ”Baginya mandi dengan air, lalu pakai sabun, dan dibilas lagi dengan air sangat nyaman dan wangi,” jelasnya.
Selain itu juga ada beberapa orang yang tertarik dengan ibadah sholat. Sambil mengingat masa itu, dia bercerita, di Irian itu, babi banyak berkeliaran seperti mobil yang berderetan. Sehingga untuk mendirikan sholat harus mendirikan panggung dulu. Saat itu orang-orang langsung mengelilingi.
“Selesai sholat, kami ditanya, ‘Mengapa mengangkat tangan, mengapa menyium bumi?’. Saya menjawab, ‘Kami bersedekap bertanda kami menyerahkan diri kepada satu-satunya Pencipta seluruh alam. Mencium bumi karena disinilah kita hidup. Tumbuhan dan hewan, yang mana makanan kita berasal dari mereka juga tumbuh di atas bumi.’ Dakwah seperti ini yang dia gunakan. Mengajarkan kebersihan, dialog dengan apa yang mereka pahami, pergi ke hutan rimba, dan membuka informasi.
Ustad Fadlan menceritakan tatkala ia bersama 20 orang berniat ingin mengunjungi daerah yang masyarakatnya masih asing dengan orang luar, dia mengatakan bahwa jika mereka kesana maka kemungkinan mereka akan langsung berhadapan dengan panah-panah beracun, maka Ustadz. Fadlan menanyakan apakah mereka siap untuk mati syahid, dalam menghadapi hal-hal semacam itu ? Ternyata hanya 6 orang yang bersedia untuk mati syahid dan berani mendampingi Ustadz Fadlan ke daerah tersebut.
Setelah mendekati daerah tersebut, mereka melihat masyarakat disana sudah siap menghadang mereka dengan senjata-senjata tradisional mereka. Selanjutnya di tengah perjalanan Ustadz. Fadlan menanyakan kembali kesediaannya dari 6 orang tersebut, apakah mereka benar-benar siap untuk mati syahid, dan mereka semua menyatakan siap.
Sebelum mereka melangkah, Ustadz. Fadlan memberikan satu pesan, yaitu jika, Ustadz. Fadlan terkena panah dan sudah tidak dapat berdiri, ke-6 orang tersebut harus lari menyelamatkan diri. Setelah ada kesepakatan, mereka pun melangkah dengan langkah pasti. Dan masyarakat tersebut pun menyambut mereka dengan panah-panah beracun yang di lepaskan, hingga Ustadz Fadlan terkena panah di beberapa bagian badannya, dan akhirnya jatuh tersungkur, dan Ustadz Fadlan tetap berusaha untuk berdiri dan terus melangkah walaupun darah terus mengalir dari tubuhnya, sedangkan ke-6 orang tadi melihat Ustadz Fadlan telah jatuh tersungkur, dan ingat pesannya, maka mereka pun melarikan diri.
Ketika melihat keadaan Ustadz Fadlan yang masih berusaha untuk berdiri, ketua adat daerah tersebut pun meminta agar masyarakatnya menghentikan panah-panah beracun. Dia menghampiri Ustadz Fadlan dan membantunya, Ustadz. Fadlan hanya ingin kembali ke tempatnya agar bisa di obati luka-lukanya, dan ketua adat tersebut mengatakan bahwa dia akan ikut mengantarkannya.
Ustadz. Fadlan mengira bahwa ketua adat akan menghantarkan dirinya sampai batas desa saja, tetapi ternyata ketua adat menghantarkannya hingga sampai ke rumahnya, sepanjang perjalanan ketua adat tersebut mengobati luka-luka Ustadz. Fadlan dengan bahan-bahan yang ada dari sekitar dan ketua adat tersebut bahkan berkeras untuk mengikuti ke rumah sakit yang ada di Makassar. Setelah pulang ketua adat tersebut akhirnya mengikrarkan diri masuk Islam.
Dengan dakwah yang sudah dijalankannya selama 19 tahun ini, banyak orang yang masuk Islam di sana. Tercatat 45% warga asli memeluk agama Islam. Jika ditambah dengan para pendatang, maka pemeluk Islam sebanyak 65% dari seluruh masyarakat yang ada di Bumi Cenderawasih tersebut. Di setiap daerah yang dikunjungi, Ustadz.Fadlan selalu bersikap santun. Shalat di tengah-tengah komunitas `asing’ tak pernah ia tinggalkan. Perlahan-lahan jejaknya diikuti oleh masyarakat setempat. “Ketika menyaksikan mereka mengucapkan dua kalimat syahadat, saya tidak kuat. Air mata menetes,” katanya.
Dikisahkan, Ust Fadlan pernah berdakwah sendirian untuk menuju suatu perkampungan dengan waktu tempuh tercepat 3 bulan berjalan kaki. Hal tersebut tidak pernah menyurutkan hatinya untuk terus berdakwah, jika ada aral melintang dia selalu kembalikan kepada Allah Subhanahu Wata’ala , dan dia selalu ingat bagaimana dulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berdakwah dengan jarak ribuan kilo dan di padang tandus.
Di kutip dari website AFKN yang merupakan wawancara dengan suara Hidayatullah. Cita-citanya sungguh mulia, yaitu mendengar suara azan Shubuh berkumandang di seantero tanah Papua Irian, Indonesia. Sehingga mampu “membangunkan” kaum Muslimin di Indonesia. Berbagai upaya pun dilakukan. Hasilnya: 900-an masjid telah tersebar di Papua, ribuan orang dimandikan secara massal, diajari cara berpakaian, dikhitan, kemudian dituntun mengucapkan kalimah syahadat.
Saat ini 1.400 anak asli Papua telah disekolahkan secara gratis. Awalnya dimasukkan ke berbagai pesantren di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi, kemudian menempuh jenjang perguruan tinggi, dalam dan luar negeri. Ratusan di antaranya tengah menempuh jenjang S-1, dan sudah ada 29 orang yang berhasil menyandang gelar S-2. Data di atas hanyalah sedikit dari prestasi yang diukir para da’i Yayasan Al-Fatih Kaafah Nusantara (AFKN).