Oleh: Ery Surayka Puspa Dwi, Psikolog RSIY PDHI

Sebagai makhluk sosial. kita tidak pernah lepas dari yang namanya interaksi dengan individu lainnya. Terlebih kaum perempuan yang lebih banyak menggunakan waktu luangnya untuk aktivitas kumpul-kumpul. Mulai dari arisan, perkumpulan pengajian, atau bahkan hanya sekedar temu sapa.

Salah satu kartakteristik atau ciri khas ketika antar perempuan saling bertemu adalah jabat tangan dan saling memeluk, kita sering menyebutnya dengan istilah cipika-cipiki. Selain melakukan “ritual” tersebut, hal yang tidak pernah absen adalah menanyakan kabar dan berlanjut pada obrolan saling mengomentari. Mulai dari pertanyaan tentang kesibukan, fashion, bahkan sampai pada komentar tentang penampilan dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Seperti sudah menjadi kebiasaan, terkadang kita lupa bahwa ada hal yang sifatnya sensitif yang tidak perlu dikomentari. Ya, masalah penampilan fisik. Pernahkah kita dibilang: ” Eh kok kamu kurusan si sekarang?” ” Hm…itu wajahmu jadi nggak cantik gara-gara jerawaten deh.” “Ya ampun… jangan makan melulu, perhatiin tuh badan dah gemuk dan gembrot banget….. Diet lah.”

Ungkapan tersebut merupakan body shaming. Adalah merupakan bentuk dari tindakan mengejek/menghina dengan mengomentari fisik (bentuk maupun ukuran tubuh) & penampilan seseorang. Bentuk lain dari bullying ini memiliki dampak yang cukup berbahaya bagi perkembangan jiwa seseorang. Bagi sebagian orang mungkin ini menjadi hal yang biasa, karena sudah sering diperlakukan seperti itu. Sebanyak 94 % wanita & 64 % pria mengalami body shaming.

Namun, tahukah kita bahwa ada dampak yang serius dari perlakuan tersebut. Tindakan bully melalui ungkapan fisik ini bisa membuat seseorang mengalami gangguan psikologis, seperti depresi, stress, frustrasi, bahkan gangguan eating disorder seperti: anorexia nervosa dan bulimia. Body shaming juga rawan terjadi di sosial media, berkaitan dengan hal tersebut telah terbit undang-undang yang mengaturnya.

Berdasarkan UU ITE situs www.kominfo.go.id, orang yang melakukan body shaming dapat dijerat dengan pasal 27 ayat (3) junto pasal 45 ayat (3) UU. No. 11 tahun 2008 dengan ancaman pidana penjara paling lama enam tahun dan atau denda maksimal Rp 750 juta.

Memprihatinkan bukan? Berhati-hati dengan ucapan kita, terutama yang berkaitan dengan kondisi fisik orang lain. Selain menimbulkan rasa tidak enak, bisa mengubah kondisi mood lawan bicara, hal ini juga memiliki dampak yang tidak main-main. Cobalah kita lebih bijak dan bisa memposisikan diri, tidak asal bicara atau mengomentari, tetapi mencoba memahami bahwa setiap individu itu unik, termasuk dari segi fisik. Ingat bahwa body shaming itu bukan bahan bercandaan! Dimuat di Republika, 6 November 2019.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *