Oleh : Raisha Hamiddani S., S.Farm., Apt

Indonesia memiliki kekayaan alam begitu besar dan menyimpan banyak potensi yang bisa dikembangkan dari berbagai biodiversitasnya. Salah satu kekayaan yang potensial adalah pengembangan obat alam yang prosesnya membutuhkan waktu dan pengujian yang cukup banyak. Banyaknya bukti empiris dari pengobatan tradisional yang dilakukan oleh masyarakat terdahulu, maka pengembangan obat alami dapat dilakukan melalui pendekatan klasik, yaitu pembuktian ilmiah efek suatu obat berdasarkan bukti empiris dari masyarakat.

Banyaknya obat tradisional, jamu maupun obat herbal pada umumnya diartikan sebagai obat yang berasal dari tanaman baik itu berupa campuran maupun tanaman tunggal yang diolah sedemikian rupa sehingga dapat dimanfaatkan untuk tujuan pengobatan. Obat herbal yang beredar di pasaran dengan berbagai manfaat yang ditawarkan, menuntut masyarakat untuk bisa memilih dan memilah produk dengan tepat, baik terkait indikasi maupun dengan memperhatikan pengolahannya.

Sejarah berkembangnya pengobatan tradisional di Indonesia, bukanlah sesuatu yang bisa dikesampingkan. Masyarakat Indonesia hingga kini tidak bisa lepas dari penggunaan obat herbal baik digunakan sebagai upaya preventif (pencegahan), promotif (meningkatkan derajat kesehatan) maupun kuratif (penyembuhan penyakit). Berbagai macam sediaan herbal berupa kapsul, tablet, maupun sediaan cair yang berasal dari ekstraksi dan pengolahan lebih lanjut secara pabrikasi maupun yang berupa sediaan simplisia atau bubuk segar yang siap seduh banyak tersedia di pasaran. Setiap orang bebas memilih jenis obat herbal yang diinginkan dan dapat melakukan pengobatan alternatif menggunakan herbal tanpa perlu menggunakan resep dari dokter.

Pemilihan obat herbal sebagai salah satu alternatif pengobatan tetap perlu dikonsumsi sesuai aturan. Mulai dari memperhatikan indikasi, dosis, frekuensi hingga waktu minum obat. Adapun hal-hal lain yang perlu diperhatikan agar bijak memilih obat herbal antara lain kita perlu memastikan obat herbal tersebut berasal dari industri yang bisa dipercaya, hal ini dapat dilihat dari tercantumnya nomor izin produksi, baik itu industri besar, kecil, maupun industri rumah tangga. Ketiga tempat produksi ini baik selama menerapkan pengolahan produk sesuai standar keamanan produksi yang telah ditetapkan.

Kita perlu memperhatikan tersedianya informasi bulan dan tahun kadaluwarsa obat herbal tersebut. Tercantumnya informasi waktu kadaluwarsa obat, membuktikan adanya tanggungjawab dari produsen mengenai produk yang dijualnya.

Perhatikanlah bentuk sediaan fisik obat herbal. Jika obat herbal dalam bentuk serbuk kasar, halus maupun dikemas dalam kapsul dan tablet, pastikan obat dalam keadaan kering. Karena sediaan yang lembab memicu tumbuhnya jamur dan menunjukkan penanganan produksi, distribusi atau penyimpanan yang kurang baik. Sediaan herbal cair dapat diketahui dari ada/tidaknya perubahan warna, bau dan kepekatannya dibandingkan dengan keadaan saat masih baik.

Anggapan bahwa obat herbal pasti aman tidaklah selalu benar, namun tidak sepenuhnya salah. Karena pada dasarnya, tanaman obat memiliki sifat SEES (Side Effect Eliminating Substances), di mana kandungan senyawa pada herbal yang begitu banyak memiliki peran saling berlawanan sekaligus bersinergi untuk menyeimbangkan antara efek terapi yang timbul dengan efek samping yang terjadi. Hal ini yang menyebabkan mengapa obat herbal dikatakan lebih aman dibandingkan obat konvensional, karena efek samping yang ditimbulkan secara otomatis ditekan oleh senyawa lain yang terkandung di dalamnya.

 Ada pula obat-obat berasal dari tanaman yang memiliki efek farmakologi cukup kuat, sehingga penggunaan dalam dosis relatif kecil sudah memberikan efek yang membahayakan jika tidak dikontrol, contohnya seperti ephedra. Oleh karena itu, informasi dari sumber yang terpercaya perlu digali untuk mendapatkan informasi lebih lanjut dari obat-obat herbal yang dikonsumsi.

Tidak jarang obat tradisional berinteraksi dengan obat konvensional yang diberikan oleh dokter. Sehingga ketika Anda sedang mengkonsumsi obat herbal, perlu disampaikan kepada dokter yang bersangkutan atau konsultasikan dengan apoteker Anda apakah ada kemungkinan interaksi di dalamnya.

Waspadai penyalahgunaan obat herbal atau jamu yang dicampur dengan bahan kimia obat (BKO), sehingga efeknya menjadi berlebihan, ataupun durasi efikasi obat terlalu cepat. Efek manjurnya sering dirasakan pasien sangat cepat, sehingga jamu “oplosan” ini cepat terjual di pasaran. Contohnya, yaitu jamu pegal linu yang dicampur dengan paracetamol atau kortikosteroid. Obat herbal atau jamu campur BKO ini termasuk obat yang dilarang oleh BPOM karena dapat membahayakan masyarakat yang mengkonsumsinya.

Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, diharapkan obat herbal dapat menjadi obat yang dipilih dengan bijak oleh masyarakat dan kemajuan penelitiannya didukung pula oleh masyarakat. Saat ini penelitian obat-obat herbal masih terus dikembangkan secara ilmiah di Indonesia, mengingat Indonesia sebagai salah satu negara yang paling banyak mewarisi resep-resep pengobatan tradisional dari nenek moyang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *